Manusiawi.com - Bagi masyarakat yang tinggal di wilayah Jakarta atau Tangerang pasti pernah mendengar nama Daan Mogot. Ya, Daan Mogot adalah nama jalan yang menghubungkan antara Ibu Kota Jakarta dengan Tangerang yang berada di wilayah Banten. Jalan yang selalu padat dilalui oleh puluhan ribu kendaraan setiap harinya.
Namun tahukah anda bahwa ternyata dahulunya Daan Mogot adalah nama seorang pahlawan yang pernah berjuang untuk bangsa Indonesia. Ia bahkan sudah ikut berperang pada umur 14 tahun, dimana anak-anak seumuran itu saat ini sedang asiknya bermain game atau facebookan.
Dilansir dari wikipedia, walau berusia muda prestasinya di dunia militer patut diacungi jempol. Pada usia yang baru 14 tahun saja ia sudah diterima bergabung di PETA (Pembela Tanah Air). Padahal seharusnya batas usia minimal adalah 18 tahun. Meski demikian ternyata ia mampu membuktikan menjadi salah satu yang terbaik dengan diangkatnya sebagai pelatih PETA di Bali.
Lahir di Manado pada tanggal 28 Desember 1928, Elias Daniel Mogot atau dikenal dengan nama Daan Mogot adalah putra dari pasangan Nicolaas Mogot dan Emilia Inkiriwang (Mien).
Putra ke lima dari tujuh bersaudara itu dibawa ayahnya ke Batavia pada umur 11 tahun dan menempati rumah di jalan yang sekarang bernama Jalan Cut Meutiah, Jakarta Pusat. Di Batavia, ayahnya diangkat menjadi anggota VOLKSRAAD (Dewan Rakyat masa Hindia-Belanda). Kemudian ayahnya diangkat sebagai Kepala Penjara Cipinang..
Hebatnya, prestasi Daan Mogot dalam kemiliteran rupanya tidak berhenti sampai di situ. Pada usia 17 tahun, ia dan teman-teman seperjuangannya mendirikan sekolah Calon Perwira Akademi Militer Tangerang. Daan Mogot sendiri menjabat sebagai Direktur pertama di Akademi Militer Tangerang.
Namun sayangnya pejuang muda ini rupanya tidak ditakdirkan berumur panjang untuk terus bersama bangsa ini. Saat itu tanggal 25 Januari 1946, Daan Mogot bersama pasukannya berangkat ke Lengkong, Tangerang, untuk melucuti pasukan Jepang yang takluk pada sekutu saat itu. Ini dilakukan untuk mendahului jangan sampai senjata Jepang yang sudah menyerah kepada sekutu diserahkan kepada KNIL-NICA Belanda yang waktu itu sudah sampai di Sukabumi menuju Jakarta.
Namun sayangnya pejuang muda ini rupanya tidak ditakdirkan berumur panjang untuk terus bersama bangsa ini. Saat itu tanggal 25 Januari 1946, Daan Mogot bersama pasukannya berangkat ke Lengkong, Tangerang, untuk melucuti pasukan Jepang yang takluk pada sekutu saat itu. Ini dilakukan untuk mendahului jangan sampai senjata Jepang yang sudah menyerah kepada sekutu diserahkan kepada KNIL-NICA Belanda yang waktu itu sudah sampai di Sukabumi menuju Jakarta.
Maka Daan Mogot yang berpangkat Mayor saat itu segera berangkat bersama 70 taruna Akademi Militer Tangerang ke kawasan Lengkong, Serpong, Tangerang. Di sana ia segera menemui Kapten Abe, komandan tentara Jepang. Perundingan antara Mayor Daan Mogot dengan Kapten Abe berjalan damai sementara pasukan taruna berjaga di luar.
Bersamaan ketika Kapten Abe meminta izin menghubungi atasannya yang di Jakarta. Pasukan Taruna yang di luar ternyata tanpa sepengetahuan Daan Mogot sudah mulai melucuti tentara Jepang. Awalnya beberapa tentara Jepang nampak dengan sukarela menyerahkan senjatanya. Tapi entah siapa yang memulai, tiba-tiba terdengar suara tembakan.
Situasi yang awalnya damaipun langsung berubah kacau balau. Para tentara Jepang yang tadinya rela menyerahkan senjata segera berlari mengambil kembali senjatanya. Tentara jepang di 3 pos penjagaan langsung memberondong para taruna dengan senapan mesin. Tak ayal pasukan taruna terkepung menjadi sasaran tembak.
Pertempuran yang tidak direncanakanpun berlangsung sengit tak seimbang. Mayor Daan Mogot segera berlari keluar dan berusaha menghentikan tembak menembak. Sayang usahanya tak berhasil, Mayor Daan Mogot terkena peluru pada paha kanan dan dada. Tapi ketika melihat anak buahnya yang memegang senjata mesin mati tertembak, ia kemudian mengambil senapan mesin tersebut dan menembaki lawan sampai ia sendiri dihujani peluru tentara Jepang dari berbagai penjuru.
Usai peperangan, pasukan Jepang menampakan kebengisan, taruna yang telah luka terkena peluru dan masih hidup dihabisi dengan tusukan bayonet. Sedangkan yang tertangkap menjadi tawanan Jepang dan dipaksa untuk menggali kubur bagi teman-temannya.
Daan Mogot gugur sebagai ksatria. Usianya baru 17 tahun ketika meninggalkan Ibu Pertiwi untuk selama-lamanya. Selain Daan Mogot, 33 taruna dan 3 perwira gugur dalam peristiwa Lengkong.